JANGAN BIARKAN AKU BERBEDA, TUHAN...!!
Cerpen Karya: Karina Dabigi
“Sampai kau ketahuan
macam-macam lagi, akan saya berhentikan sekolahmu.”Ujar ibuku datar dan tegas, tapi
tetap kulihat pandangan membunuhnya yang amat sangat aku benci.Dimana mata
seorang ibu yang orang kata hangat?Bohong besar.Kumelangkah menjauh dari ibu,
membiarkan ekor matanya mengikuti langkahku acuh.Aku tak pernah betah dekat
dengannya, perlahan mataku berair lalu tak lama aku menangis dan seakarang aku
terisak.Aku lelah.Lelah. Gadis lemah, tak berguna ini tetap anak dari seorang
ibu! Bahkan Tuhan terlihat amat sangat tak adil dimataku! Mereka bertingkah
seolah mereka paling benar, paling berkuasa, paling cerdas! Mereka.Ibuku,
keluargaku, teman-temanku, tak cukup puaskah mereka membedakanku?Mengasingiku
seolah aku adalah alien pembawa virus mematikan.Dan sekarang mereka mulai
mencemoohku.Padahal mereka tak pernah tahu, aku tak pernah ingin dilahirkan
dalam keadaan berbeda.
|
Jangan
Biarkan Aku Berbeda, Tuhan..!!
|
Kaki
gontaiku tetap aku langkahkan, berkeliling disekitar komplek rumah, aku tetap
menghirup udara segar pagi ini, aku masih dapat membuka mataku, setidaknya aku
masih hidup. Tidak mati.Jalanan pagi terlihat sepi, mungkin karena akhir
pekan.Mereka masih sibuk dengan selimut dan bantal mereka. Seolah mereka pun
tak peduli jika detik demi detik berharga mereka akan berlalu sia-sia.
Sedangkan aku?Detik-ku selalu kuhargai, satu-satunya usaha yang dapat jelas
kutunjukkan pada mereka.Tapi mereka selalu menutup mata.Terlanjur buta.Beberapa
orang yang melintas dihadapanku menatapku aneh, pandangan yang selalu kulihat
tiap hari, tiap detik, menjadi sebuah kebiasaan.Mereka hanya penggemarmu,
mengagumi diam-diam teramat dalam hingga mereka menjadi iri dan terlalu gengsi
hanya untuk berkenalan denganmu.Hanya kalimat itu yang selalu terekam
diingatanku, dan ampuh menjadi penghiburku.Aku lupa siapa yang melontarkan
mantra ajaib itu.Yang ku tahu, aku terlalu kecil hanya untuk mengingat
namanya.Aku hanya berharap bahwa pemilik mantra itu adalah Ibuku.Sehingga
setidaknya aku tahu, aku pernah merasakan kasih sayang itu.Walaupun itu dulu.
“Maaf,
saya terburu-buru jadi saya tidak lihat jalan.”Jawabnya tergesa-gesa lalu
diangkatnya tubuhku dan diambilnya segera tongkat yang menopang tubuhku sebagai
pengganti kaki kiri.Aku terjatuh.Aku hanya mengangguk kecil lalu tersenyum.Ia
benar-benar tak sengaja, gadis itu masih berdiri dihadapanku seakan khawatir
aku akan jatuh seketika apabila ia meninggalkanku, penyesalan terlihat jelas
dimatanya. Gadis itu mungkin umurnya tiga-lima tahun diatasku.Matanya tajam
sekaligus meneduhkan.Seorang pelindung sejati.
“Kamu tak
apa-apakan?Maaf, saya tidak sengaja.Saya antar pulang kerumah saja bagaimana?”
dan ternyata matanya berhasil membuatku takjub.
“Oh tidak perlu,
terimakasih.Saya tidak apa-apa.Bukankah mbak sedang terburu-buru?Saya juga
masih ingin berkeliling.”
“Benar tidak
apa-apa?Kalau begitu, saya tinggal.Sekali lagi saya minta maaf.”Katanya sembari
tersenyum dan berlalu. Senyum dan mata itu akan aku ingat.
Keesokan
harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Sekolahku memang bukan sekolah
terkenal, tetapi dengan perjuangan- aku sekolah disekolah yang normal, dan
setidaknya aku akan merasa normal berada disini walau kadang aku tetap dianggap
layaknya alien bervirus. Hari itu aku tetap duduk dibangku pojok paling depan
seperti biasa- dan akan selalu begitu sebelum akhirnya guru matematika kami
berubah wujud, maksudku kini dengan guru yang berbeda. Ketika seorang guru
masuk, kelas yang sedari tadi rusuh bak tawuran seketika sepi bak kuburan. Guru
itu tersenyum, menahan tawa. Oh Tuhan, aku ingat senyuman itu!
“Baiklah.Selamat pagi
anak-anak.Saya sedikit terkejut dengan sambutan kalian.Terlalu
menegangkan.Perkenalkan, saya guru baru kalian.Seperti yang telah kalian
ketahui, pak Darman telah pensiun.Dan saya sebagai pengganti beliau.Selanjutnya
untuk mencairkan suasana, hari ini kita isi dengan perkenalan saja, bagaimana?”
sesaat sepi. Dan lima detik kemudian kelas kembali rusuh.Dini. Nama pemilik
mata dan senyuman itu. Aku lebih suka memanggilnya ‘mbak’ walau suatu keharusan
memanggilnya ‘ibu’- terlalu tua untuk gadis semuda dan semenarik dia. Mataku
tak kunjung lepas memperhatikan gadis berkerudung itu yang jauh didepanku,
sedang tertawa renyah dengan anak muridnya. Aku berharap aku dapat tertawa
seperti itu bersamanya, tetapi aku tak seberani itu hanya sekedar untuk
mengenalnya lebih dekat.
Memang
dasar aku alien, teramat berbeda dan jauh diambang normal. Baru lima hari yang
lalu memasuki kelasku, mbak Dini langsung mengenaliku tanpa harus aku
memperkenalkan diri. Ia tahu, aku si cacat yang ia tabrak bahunya seminggu yang
lalu. Si cacat yang memperlambat langkahnya.Belum lagi kebodohanku yang
langsung diketahuinya setelah hasil ulangan harianku jauh diambang tuntas.Ia
hanya tersenyum ketika memberikan kertas itu seakan mengejek, bukan mencemooh.
Aku hanya tertunduk malu.Baru sadar seharusnya aku tak disekolah ini.Selama ini
aku memang mendapatkan nilai buruk, tapi ntah kenapa rasanya ini nilai paling
konyol.Bukannya merasa normal, justru menipiskan harapan untuk menjadi
normal.Aku bertahan disekolah ini, hanya karena akulah ‘aset’ dalam bidang
jurnalistik.Beberapa kali terpaksa diminta pindah, beberapa kali itulah aku
memenangkan perlombaan hingga akhirnya tak ada yang berani membuangku.Aku tak
pernah merasa istimewa, aku tahu beberapa dari mereka hanya
sandiwara.Munafik.Sebelumnya aku tak perduli, yang terpenting aku berada
disekolah itu.Tetapi sekarang aku mengerti, pantas saja semua orang
menganggapku alien. Sudah cacat, bodoh pula! Kertas itu masih berada digenggamanku,
mataku mulai panas dan segumpal air menghalangi pandanganku. Lalu seketika
kertas itu telah menjadi serpihan-serpihan, emosiku pecah! Lengkap sudah,
seluruh kelas memperhatikanku dan mbak Dini menghampiriku.Disentuhya dengan
lembut kepalaku-hendak bertanya, tetapi marah dan malu-ku tak terkendalikan,
segera kutepis tangan itu.Aku mencoba kabur, tapi baru selangkah aku
meninggalkan kelas itu tiba-tiba semuanya gelap.Ntah malam yang datang begitu
cepat, atau bahkan aku yang kehilangan terang?
“Kau
ini, diurus merepotkan, tak diurus merepotkan.Apa maumu?”Tanya Ibuku dengan
nada menghakimi.Aku hanya terdiam, percuma menjelaskan.Terlalu lemah hanya
untuk berdebat dengannya, harus dirawat dan tidur terlentang seharian saja
telah membuatku muak.Aku hanya butuh istirahat, buka perawatan.Lamunanku buyar
ketika terdengar pintu diketuk.Seorang gadis berkerudung, mbak Dini, dan
seorang gadis ntah siapa masuk kekamarku.Keduanya tersenyum padaku, lalu
berbincang-bincang sebentar dengan Ibuku dan Ibu meninggalkanku- membiarkanku
bersama mereka.
“Maaf
kami mengganggu.Bagaimana sudah baikan?”Tanyanya setelah duduk disalah satu
kursi plastik.Aku hanya mengangguk. Lalu perhatianku beralih ke gadis disamping
mbak Dini.“Dia teman sekelasmu, Gita.Sudahlah, kau pasti tak ingat.Peduli apa
dengan teman sekelasmu?”Mbak Dini mencoba mengejekku, Gita hanya tertawa.
“Aku membawakan ini
untukmu.”Gita menyodorkan selembar kertas penuh dengan selotip.
Kuraih kertas
itu.Tertera angka sepuluh disana.Seketika badanku lemas tak bertenaga.
“Terimakasih.Tapi aku
tak membutuhkan ini.Terlalu konyol, aku terlihat amat sangat bodoh.Dan
sepertinya itu kenyataan yang harus aku terima.Bisa-bisa ibuku tak akan
berhenti mengataiku bodoh.” Aku tertawa lalu menyodorkan kertas itu kembali ke
Gita tetapi sekejap kertas itu berada di genggaman mbak Dini.“Kau enak saja
merobek lalu membuangnya. Saya sebagai guru telah susah payah memberi nilai dan
kau tak menghargainya? Sungguh terlalu.Coba kau perhatikan, nilai sepuluh ini
seketika dapat menjadi seratus hanya dengan menuliskan satu angka nol. Terlalu
mudah bagi saya untuk melakukan itu.Tetapi bukan itu yang saya inginkan. Saya
ingin melihat proses terdahulu baru hasil. Hanya satu angka.Mungkin prosesnya
panjang tapi hasilnya memuaskan bukan?” mbak Dini menjelaskan dengan
berseri-seri.
“Dan aku membenci
proses. Kebodohanku tak dapat melakukan proses apapun. Telah berbeda dari
kalian semuapun itu sebuah kutukan.”
“Aku tak pernah
menganggapmu bodoh.Sedikitpun.Bagaimana mungkin kau menang perlombaan dengan
keadaan bodoh?Manusia tak ada yang bodoh, kau tahu?”Gita menyahut.Seratus
kalipun aku telah mendengar kalimat konyol itu.
“Lalu, seandainya
manusia tak ada yang bodoh, mengapa istilah ‘bodoh’ ada?Sudahlah, kalian jangan
munafik hanya dengan melihat fisikku.”Mbak Dini memandangku tajam.
“Kata bodoh itu
relatif.Manusia memang melakukan kebodohan, tetapi bukan berarti mereka
bodoh.Hanya karena kau berbeda, kau dengan mudahnya mengatakan kau
bodoh.Terlalu cepat bagimu untuk menyerah.Bahkan sebelum kau memulai apapun.”Aku
terdiam, mengakui bahwa aku salah.Terlalu lama aku terdiam hingga akhirnya
mereka menyadari- aku butuh waktu sendiri.Ruangan itu kembali sepi hingga
akhirnya pintu itu kembali dibuka dan muncul kepala berkerudung itu lagi.
“Panggil saya ‘mbak’.Kata ‘ibu’ membuat
saya merasa tua.”Kata mbak Dini kemudian sembari tersenyum lebar.Memang seperti
itulah dari dulu aku memanggilmu.Jawabku dalam hati.
Berteman
dengan mbak Dini dan Gita, satu-satunya hal yang paling kusukai saat ini.Mbak
Dini tetap guruku.Kehadirannya seolah telah kutunggu sejak lama.Seolah menunggu
seorang pahlawan.Berlebihan. Dan Gita, ntah kapan dan mengapa gadis itu
memasuki duniaku, dunia alien. Tapi toh dia juga berbeda.Mau saja berteman
dengan alien.Dengan mereka harapan untuk menjadi normal itu ada.
“Seperti itulah
manusia, melakukan hal-hal bodoh.”Kata mbak Dini suatu ketika, disaat aku dan
Gita sedang mengantri untuk daftar lomba tahun ini.Ia sibuk memperhatikan
orang-orang yang memandangku aneh. Sesekali ia akan menjahili anak kecil yang
menatapku pula dengan menatap mereka tajam seolah berkata apa mau kalian?
“Mereka akan sibuk
memperhatikan kelemahan orang lain tanpa melihat dulu siapa mereka- berani
merendahkan orang lain. Justru menurutku, mereka hanya penggemarmu- mengagumimu
diam-diam sampai-sampai mereka gengsi atau sekedar lupa cara untuk berkenalan
denganmu.” Gita hanya tertawa.Aku hendak tertawa sebelum akhirnya aku menyadari
sesuatu.Ini terlalu sederhana jika memang ini sebuah rahasia.Tetapi ini juga
terlalu rumit untuk menjadi sebuah kebetulan.Aku tahu mata itu miliknya, aku
tahu senyum itu miliknya, aku tahu sentuhan itu miliknya, dan aku tahu- kalimat
itu adalah mantranya.
Ia memang
yatim-piatu, tapi ia tak sendiri. Ia memang sempurna, tapi ia rapuh. Disaat itu
aku bertemu dengannya, seorang gadis kecil dengan rambut terurai dan mata
itu.Saat itu tatapannya rapuh, barusaja ayahnya pergi menyusul ibunya.
Sampai-sampai aku tak berani menatapnya, takut-takut jikalau ia seketika akan
marah. Tetapi tidak, ia justru meraih tanganku membiarkan tangan kecilku
digenggamannya. Membelai lembut rambutku yang waktu itu tergerai dihiasi
pita.Diajaknya aku berlari, dan seketika aku terjatuh dan menangis
meraung-raung. Ibuku memarahinya, dan sejak itu ia tahu- bahwa aku memang
berbeda. Dia selalu disampingku sejak saat itu, memarahi tiap anak yang
memandangku aneh lalu membisikkan mantra itu hingga aku tertawa.Ia tak
disampingku lagi sejak membisikkan mantra itu, pergi bersama keluarga ibunya.
Dan sejak itu, aku tahu aku tidak akan memiliki teman bermain lagi.
Mbak
Dini memperhatikanku aneh dari bawah ke atas. Menganggapku alien sama seperti
yang lain. Tapi tidak, kali ini memang benar-benar aneh.Yang benar saja, minggu
pagi aku bermain kerumahnya sendiri. Tanpa Gita. Tapi bagaimanapun ia tetap tersenyum,
duduk tanpa beralas diteras rumahnya sembari meminum teh hangat.
“Aku tahu kau akan mengataiku alien kan
mbak?” tanyaku kemudian.
“Tidak.Tidak juga.Hanya saja perlu
alasan kuat kau datang kemari tanpa Gita.”Aku terdiam.Lalu teringat tujuanku
datang kemari sepagi ini.
“Mbak, kau ingat
gadis kecil cacat yang kau ajak berlari sewaktu kau kecil?Dulu kau pernah
membisikkan mantra padanya.Dan sampai sekarang gadis itu masih mengingatnya
dengan baik.”Mbak Dini hanya mengangkat kedua alisnya.
“Gadis kecil itu amat
menyukai matamu. Bahkan ia tak pernah punya teman setelah kau tinggalkan pergi
jauh ntah kemana. Mana dia tahu waktu itu peta pulau Jawa.”Ia terdiam
mendengarku berbicara. Seakan aku dapat melihat adegan didalam kepalanya, ia
sedang berusaha keras mengumpulkan ingatan. Sekejap kemudian matanya membulat,
tangannya menutup mulutnya yang terbuka sedangkan tangannya yang lain sibuk
menggapai-gapai tubuhku.
“Kau? Oh Tuhan,
bagaimana bisa aku melupakanmu? Ternyata aku lebih bodoh darimu.Gurumu lebih bodoh
dari muridnya.”Aku hanya menunduk.Ia mengingatku.
“Benar
bukan?Orang-orang itu hanyalah penggemarmu.Kau percaya itukan?”
“Tentu saja.Mana
mungkin aku bisa buta dengan tatapan mereka tanpa mantra itu.”Sejenak
sepi.Hanya terdengar seruputan teh yang kuminum.
“Kau masih merasa
berbeda?Masih ingin menyalahkan Tuhan karena kau berbeda?” tanyanya tiba-tiba.
“Masih dan akan selalu begitu.Karena
aku memang berbeda- dan aku tidak pernah menyalahkan.Aku hanya menyalahkan
Tuhan karena tak pernah membuat hati Ibuku terbuka sedikitpun.Bukan karena aku
cacat.”
“Itu butuh proses.” Jawabnya.
“Ya, aku tahu.Walau
Tuhan tak membiarkan Ibuku untuk menyayangiku dengan lebih.Tapi Tuhan tak
pernah membiarkan aku berbeda sendiri.Aku masih punya kau dan Gita.”
“Terserah kau sajalah, asal nilai
Matematikamu minggu depan delapan puluh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar