Pages

Senin, 15 September 2014

CERPEN JANGAN BIARKAN AKU BERBEDA, TUHAN...!!

JANGAN BIARKAN AKU BERBEDA, TUHAN...!!
Cerpen Karya:  Karina Dabigi


“Sampai kau ketahuan macam-macam lagi, akan saya berhentikan sekolahmu.”Ujar ibuku datar dan tegas, tapi tetap kulihat pandangan membunuhnya yang amat sangat aku benci.Dimana mata seorang ibu yang orang kata hangat?Bohong besar.Kumelangkah menjauh dari ibu, membiarkan ekor matanya mengikuti langkahku acuh.Aku tak pernah betah dekat dengannya, perlahan mataku berair lalu tak lama aku menangis dan seakarang aku terisak.Aku lelah.Lelah. Gadis lemah, tak berguna ini tetap anak dari seorang ibu! Bahkan Tuhan terlihat amat sangat tak adil dimataku! Mereka bertingkah seolah mereka paling benar, paling berkuasa, paling cerdas! Mereka.Ibuku, keluargaku, teman-temanku, tak cukup puaskah mereka membedakanku?Mengasingiku seolah aku adalah alien pembawa virus mematikan.Dan sekarang mereka mulai mencemoohku.Padahal mereka tak pernah tahu, aku tak pernah ingin dilahirkan dalam keadaan berbeda.



Jangan Biarkan Aku Berbeda, Tuhan..!!
Kaki gontaiku tetap aku langkahkan, berkeliling disekitar komplek rumah, aku tetap menghirup udara segar pagi ini, aku masih dapat membuka mataku, setidaknya aku masih hidup. Tidak mati.Jalanan pagi terlihat sepi, mungkin karena akhir pekan.Mereka masih sibuk dengan selimut dan bantal mereka. Seolah mereka pun tak peduli jika detik demi detik berharga mereka akan berlalu sia-sia. Sedangkan aku?Detik-ku selalu kuhargai, satu-satunya usaha yang dapat jelas kutunjukkan pada mereka.Tapi mereka selalu menutup mata.Terlanjur buta.Beberapa orang yang melintas dihadapanku menatapku aneh, pandangan yang selalu kulihat tiap hari, tiap detik, menjadi sebuah kebiasaan.Mereka hanya penggemarmu, mengagumi diam-diam teramat dalam hingga mereka menjadi iri dan terlalu gengsi hanya untuk berkenalan denganmu.Hanya kalimat itu yang selalu terekam diingatanku, dan ampuh menjadi penghiburku.Aku lupa siapa yang melontarkan mantra ajaib itu.Yang ku tahu, aku terlalu kecil hanya untuk mengingat namanya.Aku hanya berharap bahwa pemilik mantra itu adalah Ibuku.Sehingga setidaknya aku tahu, aku pernah merasakan kasih sayang itu.Walaupun itu dulu.
“Maaf, saya terburu-buru jadi saya tidak lihat jalan.”Jawabnya tergesa-gesa lalu diangkatnya tubuhku dan diambilnya segera tongkat yang menopang tubuhku sebagai pengganti kaki kiri.Aku terjatuh.Aku hanya mengangguk kecil lalu tersenyum.Ia benar-benar tak sengaja, gadis itu masih berdiri dihadapanku seakan khawatir aku akan jatuh seketika apabila ia meninggalkanku, penyesalan terlihat jelas dimatanya. Gadis itu mungkin umurnya tiga-lima tahun diatasku.Matanya tajam sekaligus meneduhkan.Seorang pelindung sejati.
“Kamu tak apa-apakan?Maaf, saya tidak sengaja.Saya antar pulang kerumah saja bagaimana?” dan ternyata matanya berhasil membuatku takjub.
“Oh tidak perlu, terimakasih.Saya tidak apa-apa.Bukankah mbak sedang terburu-buru?Saya juga masih ingin berkeliling.”
“Benar tidak apa-apa?Kalau begitu, saya tinggal.Sekali lagi saya minta maaf.”Katanya sembari tersenyum dan berlalu. Senyum dan mata itu akan aku ingat.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Sekolahku memang bukan sekolah terkenal, tetapi dengan perjuangan- aku sekolah disekolah yang normal, dan setidaknya aku akan merasa normal berada disini walau kadang aku tetap dianggap layaknya alien bervirus. Hari itu aku tetap duduk dibangku pojok paling depan seperti biasa- dan akan selalu begitu sebelum akhirnya guru matematika kami berubah wujud, maksudku kini dengan guru yang berbeda. Ketika seorang guru masuk, kelas yang sedari tadi rusuh bak tawuran seketika sepi bak kuburan. Guru itu tersenyum, menahan tawa. Oh Tuhan, aku ingat senyuman itu!
“Baiklah.Selamat pagi anak-anak.Saya sedikit terkejut dengan sambutan kalian.Terlalu menegangkan.Perkenalkan, saya guru baru kalian.Seperti yang telah kalian ketahui, pak Darman telah pensiun.Dan saya sebagai pengganti beliau.Selanjutnya untuk mencairkan suasana, hari ini kita isi dengan perkenalan saja, bagaimana?” sesaat sepi. Dan lima detik kemudian kelas kembali rusuh.Dini. Nama pemilik mata dan senyuman itu. Aku lebih suka memanggilnya ‘mbak’ walau suatu keharusan memanggilnya ‘ibu’- terlalu tua untuk gadis semuda dan semenarik dia. Mataku tak kunjung lepas memperhatikan gadis berkerudung itu yang jauh didepanku, sedang tertawa renyah dengan anak muridnya. Aku berharap aku dapat tertawa seperti itu bersamanya, tetapi aku tak seberani itu hanya sekedar untuk mengenalnya lebih dekat.

Memang dasar aku alien, teramat berbeda dan jauh diambang normal. Baru lima hari yang lalu memasuki kelasku, mbak Dini langsung mengenaliku tanpa harus aku memperkenalkan diri. Ia tahu, aku si cacat yang ia tabrak bahunya seminggu yang lalu. Si cacat yang memperlambat langkahnya.Belum lagi kebodohanku yang langsung diketahuinya setelah hasil ulangan harianku jauh diambang tuntas.Ia hanya tersenyum ketika memberikan kertas itu seakan mengejek, bukan mencemooh. Aku hanya tertunduk malu.Baru sadar seharusnya aku tak disekolah ini.Selama ini aku memang mendapatkan nilai buruk, tapi ntah kenapa rasanya ini nilai paling konyol.Bukannya merasa normal, justru menipiskan harapan untuk menjadi normal.Aku bertahan disekolah ini, hanya karena akulah ‘aset’ dalam bidang jurnalistik.Beberapa kali terpaksa diminta pindah, beberapa kali itulah aku memenangkan perlombaan hingga akhirnya tak ada yang berani membuangku.Aku tak pernah merasa istimewa, aku tahu beberapa dari mereka hanya sandiwara.Munafik.Sebelumnya aku tak perduli, yang terpenting aku berada disekolah itu.Tetapi sekarang aku mengerti, pantas saja semua orang menganggapku alien. Sudah cacat, bodoh pula! Kertas itu masih berada digenggamanku, mataku mulai panas dan segumpal air menghalangi pandanganku. Lalu seketika kertas itu telah menjadi serpihan-serpihan, emosiku pecah! Lengkap sudah, seluruh kelas memperhatikanku dan mbak Dini menghampiriku.Disentuhya dengan lembut kepalaku-hendak bertanya, tetapi marah dan malu-ku tak terkendalikan, segera kutepis tangan itu.Aku mencoba kabur, tapi baru selangkah aku meninggalkan kelas itu tiba-tiba semuanya gelap.Ntah malam yang datang begitu cepat, atau bahkan aku yang kehilangan terang?
“Kau ini, diurus merepotkan, tak diurus merepotkan.Apa maumu?”Tanya Ibuku dengan nada menghakimi.Aku hanya terdiam, percuma menjelaskan.Terlalu lemah hanya untuk berdebat dengannya, harus dirawat dan tidur terlentang seharian saja telah membuatku muak.Aku hanya butuh istirahat, buka perawatan.Lamunanku buyar ketika terdengar pintu diketuk.Seorang gadis berkerudung, mbak Dini, dan seorang gadis ntah siapa masuk kekamarku.Keduanya tersenyum padaku, lalu berbincang-bincang sebentar dengan Ibuku dan Ibu meninggalkanku- membiarkanku bersama mereka.
“Maaf kami mengganggu.Bagaimana sudah baikan?”Tanyanya setelah duduk disalah satu kursi plastik.Aku hanya mengangguk. Lalu perhatianku beralih ke gadis disamping mbak Dini.“Dia teman sekelasmu, Gita.Sudahlah, kau pasti tak ingat.Peduli apa dengan teman sekelasmu?”Mbak Dini mencoba mengejekku, Gita hanya tertawa.
“Aku membawakan ini untukmu.”Gita menyodorkan selembar kertas penuh dengan selotip.
Kuraih kertas itu.Tertera angka sepuluh disana.Seketika badanku lemas tak bertenaga.
“Terimakasih.Tapi aku tak membutuhkan ini.Terlalu konyol, aku terlihat amat sangat bodoh.Dan sepertinya itu kenyataan yang harus aku terima.Bisa-bisa ibuku tak akan berhenti mengataiku bodoh.” Aku tertawa lalu menyodorkan kertas itu kembali ke Gita tetapi sekejap kertas itu berada di genggaman mbak Dini.“Kau enak saja merobek lalu membuangnya. Saya sebagai guru telah susah payah memberi nilai dan kau tak menghargainya? Sungguh terlalu.Coba kau perhatikan, nilai sepuluh ini seketika dapat menjadi seratus hanya dengan menuliskan satu angka nol. Terlalu mudah bagi saya untuk melakukan itu.Tetapi bukan itu yang saya inginkan. Saya ingin melihat proses terdahulu baru hasil. Hanya satu angka.Mungkin prosesnya panjang tapi hasilnya memuaskan bukan?” mbak Dini menjelaskan dengan berseri-seri.
“Dan aku membenci proses. Kebodohanku tak dapat melakukan proses apapun. Telah berbeda dari kalian semuapun itu sebuah kutukan.”
“Aku tak pernah menganggapmu bodoh.Sedikitpun.Bagaimana mungkin kau menang perlombaan dengan keadaan bodoh?Manusia tak ada yang bodoh, kau tahu?”Gita menyahut.Seratus kalipun aku telah mendengar kalimat konyol itu.
“Lalu, seandainya manusia tak ada yang bodoh, mengapa istilah ‘bodoh’ ada?Sudahlah, kalian jangan munafik hanya dengan melihat fisikku.”Mbak Dini memandangku tajam.
“Kata bodoh itu relatif.Manusia memang melakukan kebodohan, tetapi bukan berarti mereka bodoh.Hanya karena kau berbeda, kau dengan mudahnya mengatakan kau bodoh.Terlalu cepat bagimu untuk menyerah.Bahkan sebelum kau memulai apapun.”Aku terdiam, mengakui bahwa aku salah.Terlalu lama aku terdiam hingga akhirnya mereka menyadari- aku butuh waktu sendiri.Ruangan itu kembali sepi hingga akhirnya pintu itu kembali dibuka dan muncul kepala berkerudung itu lagi.
“Panggil saya ‘mbak’.Kata ‘ibu’ membuat saya merasa tua.”Kata mbak Dini kemudian sembari tersenyum lebar.Memang seperti itulah dari dulu aku memanggilmu.Jawabku dalam hati.

Berteman dengan mbak Dini dan Gita, satu-satunya hal yang paling kusukai saat ini.Mbak Dini tetap guruku.Kehadirannya seolah telah kutunggu sejak lama.Seolah menunggu seorang pahlawan.Berlebihan. Dan Gita, ntah kapan dan mengapa gadis itu memasuki duniaku, dunia alien. Tapi toh dia juga berbeda.Mau saja berteman dengan alien.Dengan mereka harapan untuk menjadi normal itu ada.
“Seperti itulah manusia, melakukan hal-hal bodoh.”Kata mbak Dini suatu ketika, disaat aku dan Gita sedang mengantri untuk daftar lomba tahun ini.Ia sibuk memperhatikan orang-orang yang memandangku aneh. Sesekali ia akan menjahili anak kecil yang menatapku pula dengan menatap mereka tajam seolah berkata apa mau kalian?
“Mereka akan sibuk memperhatikan kelemahan orang lain tanpa melihat dulu siapa mereka- berani merendahkan orang lain. Justru menurutku, mereka hanya penggemarmu- mengagumimu diam-diam sampai-sampai mereka gengsi atau sekedar lupa cara untuk berkenalan denganmu.” Gita hanya tertawa.Aku hendak tertawa sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu.Ini terlalu sederhana jika memang ini sebuah rahasia.Tetapi ini juga terlalu rumit untuk menjadi sebuah kebetulan.Aku tahu mata itu miliknya, aku tahu senyum itu miliknya, aku tahu sentuhan itu miliknya, dan aku tahu- kalimat itu adalah mantranya.
Ia memang yatim-piatu, tapi ia tak sendiri. Ia memang sempurna, tapi ia rapuh. Disaat itu aku bertemu dengannya, seorang gadis kecil dengan rambut terurai dan mata itu.Saat itu tatapannya rapuh, barusaja ayahnya pergi menyusul ibunya. Sampai-sampai aku tak berani menatapnya, takut-takut jikalau ia seketika akan marah. Tetapi tidak, ia justru meraih tanganku membiarkan tangan kecilku digenggamannya. Membelai lembut rambutku yang waktu itu tergerai dihiasi pita.Diajaknya aku berlari, dan seketika aku terjatuh dan menangis meraung-raung. Ibuku memarahinya, dan sejak itu ia tahu- bahwa aku memang berbeda. Dia selalu disampingku sejak saat itu, memarahi tiap anak yang memandangku aneh lalu membisikkan mantra itu hingga aku tertawa.Ia tak disampingku lagi sejak membisikkan mantra itu, pergi bersama keluarga ibunya. Dan sejak itu, aku tahu aku tidak akan memiliki teman bermain lagi.

Mbak Dini memperhatikanku aneh dari bawah ke atas. Menganggapku alien sama seperti yang lain. Tapi tidak, kali ini memang benar-benar aneh.Yang benar saja, minggu pagi aku bermain kerumahnya sendiri. Tanpa Gita. Tapi bagaimanapun ia tetap tersenyum, duduk tanpa beralas diteras rumahnya sembari meminum teh hangat.
“Aku tahu kau akan mengataiku alien kan mbak?” tanyaku kemudian.
“Tidak.Tidak juga.Hanya saja perlu alasan kuat kau datang kemari tanpa Gita.”Aku terdiam.Lalu teringat tujuanku datang kemari sepagi ini.
“Mbak, kau ingat gadis kecil cacat yang kau ajak berlari sewaktu kau kecil?Dulu kau pernah membisikkan mantra padanya.Dan sampai sekarang gadis itu masih mengingatnya dengan baik.”Mbak Dini hanya mengangkat kedua alisnya.
“Gadis kecil itu amat menyukai matamu. Bahkan ia tak pernah punya teman setelah kau tinggalkan pergi jauh ntah kemana. Mana dia tahu waktu itu peta pulau Jawa.”Ia terdiam mendengarku berbicara. Seakan aku dapat melihat adegan didalam kepalanya, ia sedang berusaha keras mengumpulkan ingatan. Sekejap kemudian matanya membulat, tangannya menutup mulutnya yang terbuka sedangkan tangannya yang lain sibuk menggapai-gapai tubuhku.
“Kau? Oh Tuhan, bagaimana bisa aku melupakanmu? Ternyata aku lebih bodoh darimu.Gurumu lebih bodoh dari muridnya.”Aku hanya menunduk.Ia mengingatku.
“Benar bukan?Orang-orang itu hanyalah penggemarmu.Kau percaya itukan?”
“Tentu saja.Mana mungkin aku bisa buta dengan tatapan mereka tanpa mantra itu.”Sejenak sepi.Hanya terdengar seruputan teh yang kuminum.
“Kau masih merasa berbeda?Masih ingin menyalahkan Tuhan karena kau berbeda?” tanyanya tiba-tiba.
“Masih dan akan selalu begitu.Karena aku memang berbeda- dan aku tidak pernah menyalahkan.Aku hanya menyalahkan Tuhan karena tak pernah membuat hati Ibuku terbuka sedikitpun.Bukan karena aku cacat.”
“Itu butuh proses.” Jawabnya.
“Ya, aku tahu.Walau Tuhan tak membiarkan Ibuku untuk menyayangiku dengan lebih.Tapi Tuhan tak pernah membiarkan aku berbeda sendiri.Aku masih punya kau dan Gita.”
“Terserah kau sajalah, asal nilai Matematikamu minggu depan delapan puluh.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar