Pages

Selasa, 24 Maret 2015

Nama : Faizal Rohmiani
Kelas : XII-IPA 4

SATU SENYUM SAJA

Saat itu suasana masih ramai. Teman - temanku juga masih berkerumun di tempat sepeda. Hari ini aku tidak diantar, jadi mau tidak mau aku harus masuk kedalam kerumunan itu. Seperti para kumbang yang hinggap kesana kemari mencari sarang madu. Suasana yang sudah biasa, sangat riuh. Akhirnya setelah beberapa lama aku berhasil meloloskan diri dari kerumunan kumbang itu. Hari ini aku bersama tiga orang temanku. Seperti biasa, di sepanjang perjalanan kami hanya berbicara hal – hal yang sangat menyenangkan. Tentu saja bagi kami, hal yang menarik adalah saat kami bisa berkumpul bersama sama dan bersenda gurau bersama teman. Meskipun kami harus melalui jalan terjal dan berbatu, hati kami tetap merasa senang dengan kebersamaan ini.
Sambil menikmati jalananan, terus saja aku kayuh sepedaku sambil bernyanyi bersama keringat yang mengucur deras di tubuhku. Tak sengaja, di tengah perjalanan aku berpandangan dengan seorang nenek yang sudah tua. Tubuhnya renta dimakan usia hingga berjalannya saja sedikit menunduk. Mungkin karena sudah banyak tulang yang kropos. Aku memandang sekilas kearahnya, sedikit menunduk untuk menunjukkan sopan santunku kepada nenek itu. Senyum sumringah pecah dari bibirnya, sungguh tak terduga olehku yang hanya sebentar menatap dan menunduk kepadanya. Senyum ikhlas yang penuh dengan kasih sayang dan ketulusan. Di sepanjang jalan, aku jadi teringat dengan mendiang nenekku dulu. Saat itu, aku berkunjung kerumahnya dengan ayahku. Nenekku memang sudah sangat tua. Namun setidaknya, ketuaannya itu baru muncul beberapa bulan terakhir. Banyak orang yang heran dengan kesehatan nenekku yang tiada habisnya,. Tapi saat itu, ia sudah mulai pikun. Aku harus mengatakan bahwa aku adalah salah seorang cucunya.                                             “Mbok, iki aku Nia”. Ia hanya diam dan memandang kepadaku.                                            “Ndok, karo sopo awakmu?”. Budheku muncul dari balik pintu dengan senyum lebarnya.                                                                                                                                         “Iki karo bapak”. Jawabku.                                                                                                     “Woh, wes suwi to?”. “Ugong, sektas”. Jawab ayahku.                                                   “Kuwi, mbokmu sektas tak potong rambute, terus tak kramasi. Kedawan wisan”. Budheku menerangkan.
 Aku langsung memandang seksama ke arah nenekku. Wajah yang sudah kelihatan begitu lelah. Sampai – sampai tulang pipinya menjulur keluar karena tubuhnya yang tak berdaging, dengan rambut ikalnya yang tergerai menggantung riuk di kepala dan pundaknya. Suaranya yang jarang terdengar lagi. Kakinya yang terlihat begitu kasar karena jarang memakai alas kaki. Tapi, lain dengan giginya, giginya tetap cemerlang karena kebiasaannya makan daun sirih dan teman – temannya.                                                                 “Duh Gusti Pangeran, Alhamdulillah mbok kula taksih panjenengan limpahi kewarasan”. Pikiran itu langsung saja menerjangku.
 “Yowes, tak kuncite mbok’e”.  Dengan penuh hati – hati aku menali rambut nenekku dengan seutas tali rambut. “Ngene kan sigrak” terkaku.                                                                         “Kuwi Nia lo mbok, kelingan ra?”. Budheku bertanya kepada nenekku. Tapi ia hanya menundukkan kepala dan diam seribu kata.
Tiba – tiba ada suara ketukan pintu. Ayahku bangkit dari tempat duduknya dan melihat sosok itu.                                                                                                                                   “Oh pak Soyar, wonten nopo pak?”. Ayahku bertanya.                                                        “Ikilo oleh berkat, aku tas gendoren. Kene oleh cangkriman”. Jawab laki – laki itu.               “ Woh, enggeh pak, matur sembah nuwun sanget, ngrepoti mawon”.                                 “ Podo – podo. Yoh mampir mahku, aku tak disek.”                                                             “ Enggeh pak, matur sembah nuwun .”                                                                                  “ Kilo, oleh berkat. Jale dulangen mbokmu”.
Langsung saja permintaan ayahku kuturuti. Dengan tanganku sendiri aku menyuapinya. Ia mau makan dari suapanku. Sungguh mengguncang hebat kebahagiaan dalam dadaku. Coba saja sejak dulu aku bisa berbakti seperti ini kepada nenekku. Sayangnya, kami harus terpisah jarak dan waktu. Tidak hanya aku yang senang, tapi juga ayahku yang memandang lurus ke arah nenek dan aku. Ia tersenyum dan berkata, “Yo ngono”.  Aku bisa merasakan betapa bahagianya ayahku. Aku tau jikalau ayah begiru merindukan nenek. Kasih sayang ini seperti yang dikatakan puisi yang kubaca di sebuah novel,
            Selalu saja kurindu                                                                                                                  Abad – abad terus berlalu                                                                                                 Berjuta kali berganti baju                                                                                                       Nun jauh disana mata bening menatapku haru                                                                     Penuh rindu                                                                                                                             Mata bundaku                                                                                                                         Yang selalu ku rindu
“Grodak”, suara sepedaku yang terkena batuan besar membangunkanku dari lamunan itu. Tak sadar, air matapun sudah mengucur deras di kelopak mataku. Betapa rindunya hati ini dengan kasih sayang itu. Kasih sayang seorang nenek yang tiada habisya.


Sambijajar, 15 Desember 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar