Nama : Faizal Rohmiani
Kelas : XII-IPA 4
SATU
SENYUM SAJA
Saat itu suasana masih ramai. Teman - temanku
juga masih berkerumun di tempat sepeda. Hari ini aku tidak diantar, jadi mau
tidak mau aku harus masuk kedalam kerumunan itu. Seperti para kumbang yang
hinggap kesana kemari mencari sarang madu. Suasana yang sudah biasa, sangat
riuh. Akhirnya setelah beberapa lama aku berhasil meloloskan diri dari
kerumunan kumbang itu. Hari ini aku bersama tiga orang temanku. Seperti biasa,
di sepanjang perjalanan kami hanya berbicara hal – hal yang sangat
menyenangkan. Tentu saja bagi kami, hal yang menarik adalah saat kami bisa
berkumpul bersama sama dan bersenda gurau bersama teman. Meskipun kami harus
melalui jalan terjal dan berbatu, hati kami tetap merasa senang dengan
kebersamaan ini.
Sambil menikmati jalananan, terus saja aku
kayuh sepedaku sambil bernyanyi bersama keringat yang mengucur deras di
tubuhku. Tak sengaja, di tengah perjalanan aku berpandangan dengan seorang
nenek yang sudah tua. Tubuhnya renta dimakan usia hingga berjalannya saja
sedikit menunduk. Mungkin karena sudah banyak tulang yang kropos. Aku memandang
sekilas kearahnya, sedikit menunduk untuk menunjukkan sopan santunku kepada
nenek itu. Senyum sumringah pecah dari bibirnya, sungguh tak terduga olehku
yang hanya sebentar menatap dan menunduk kepadanya. Senyum ikhlas yang penuh
dengan kasih sayang dan ketulusan. Di sepanjang jalan, aku jadi teringat dengan
mendiang nenekku dulu. Saat itu, aku berkunjung kerumahnya dengan ayahku.
Nenekku memang sudah sangat tua. Namun setidaknya, ketuaannya itu baru muncul
beberapa bulan terakhir. Banyak orang yang heran dengan kesehatan nenekku yang
tiada habisnya,. Tapi saat itu, ia sudah mulai pikun. Aku harus mengatakan
bahwa aku adalah salah seorang cucunya. “Mbok, iki aku Nia”. Ia hanya diam
dan memandang kepadaku. “Ndok,
karo sopo awakmu?”. Budheku muncul dari balik pintu dengan senyum lebarnya. “Iki karo bapak”.
Jawabku. “Woh,
wes suwi to?”. “Ugong, sektas”. Jawab ayahku. “Kuwi,
mbokmu sektas tak potong rambute, terus tak kramasi. Kedawan wisan”. Budheku
menerangkan.
Aku
langsung memandang seksama ke arah nenekku. Wajah yang sudah kelihatan begitu
lelah. Sampai – sampai tulang pipinya menjulur keluar karena tubuhnya yang tak
berdaging, dengan rambut ikalnya yang tergerai menggantung riuk di kepala dan
pundaknya. Suaranya yang jarang terdengar lagi. Kakinya yang terlihat begitu
kasar karena jarang memakai alas kaki. Tapi, lain dengan giginya, giginya tetap
cemerlang karena kebiasaannya makan daun sirih dan teman – temannya. “Duh
Gusti Pangeran, Alhamdulillah mbok kula taksih panjenengan limpahi kewarasan”.
Pikiran itu langsung saja menerjangku.
“Yowes,
tak kuncite mbok’e”. Dengan penuh hati –
hati aku menali rambut nenekku dengan seutas tali rambut. “Ngene kan sigrak”
terkaku. “Kuwi Nia lo mbok,
kelingan ra?”. Budheku bertanya kepada nenekku. Tapi ia hanya menundukkan
kepala dan diam seribu kata.
Tiba – tiba ada suara ketukan pintu. Ayahku
bangkit dari tempat duduknya dan melihat sosok itu. “Oh pak Soyar, wonten nopo pak?”.
Ayahku bertanya. “Ikilo
oleh berkat, aku tas gendoren. Kene oleh cangkriman”. Jawab laki – laki itu. “ Woh, enggeh pak, matur sembah
nuwun sanget, ngrepoti mawon”. “ Podo – podo. Yoh mampir mahku, aku
tak disek.” “ Enggeh pak, matur sembah nuwun .” “ Kilo, oleh berkat. Jale dulangen mbokmu”.
Langsung saja permintaan ayahku kuturuti.
Dengan tanganku sendiri aku menyuapinya. Ia mau makan dari suapanku. Sungguh
mengguncang hebat kebahagiaan dalam dadaku. Coba saja sejak dulu aku bisa
berbakti seperti ini kepada nenekku. Sayangnya, kami harus terpisah jarak dan
waktu. Tidak hanya aku yang senang, tapi juga ayahku yang memandang lurus ke
arah nenek dan aku. Ia tersenyum dan berkata, “Yo ngono”. Aku bisa merasakan betapa bahagianya ayahku.
Aku tau jikalau ayah begiru merindukan nenek. Kasih sayang ini seperti yang
dikatakan puisi yang kubaca di sebuah novel,
Selalu
saja kurindu Abad
– abad terus berlalu Berjuta
kali berganti baju Nun
jauh disana mata bening menatapku haru Penuh rindu Mata bundaku Yang
selalu ku rindu
“Grodak”, suara sepedaku yang terkena batuan
besar membangunkanku dari lamunan itu. Tak sadar, air matapun sudah mengucur
deras di kelopak mataku. Betapa rindunya hati ini dengan kasih sayang itu.
Kasih sayang seorang nenek yang tiada habisya.
Sambijajar, 15 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar