Pages

Selasa, 24 Maret 2015

KASIHANILAH ANAKKU
Alkisah hiduplah sebuah keluarga pemulung di tengah riuhnya kota metropolitan Jakarta. Setiap hari pekerjaan mereka mengais satu demi satu tempat pembuangan sampah. Seakan bau busuk dan kotoran sudah menjadi teman akrab mereka. Inilah cara mereka mempertahankan hidup demi mengharapkan sesuap nasi. Penghasilan Rp. 10.000, 00/ hari merupakan harta bagi mereka.
Para pelaku
Restu                    : Anak laki – laki berumur  4 tahun, bisu, tampak dungu namun selalu ceria. Ia adalah anak dari keluarga pemulung ini.
Pak Gembuk        : Laki – laki ini berumur 45 tahun. Wajahnya lusuh, selain itu ia menderita kelainan fisik. Bibirnya merot dan  tak bisa berjalan sama seperti manusia normal.
Mariyem               : Ibu – ibu ini masih sekitar 35 tahun, tapi karena kondisinya yang sedikit cacat dan serba kekurangan, dia terlihat begitu dekil dan tua.
Petugas medis       : Petugas ini kira- kira berusia 27 tahun. Ia adalh orang yang ramah dan sangat peduli terhadap keadan sekitar.
Petugas KA          : Petugas kereta api ini kira – kira berusia 40 tahun. Rambutya plontos, tubuhnya kurus, sok tahu, dan keras kepala.
Hari ini cuaca begitu terik. Pancaran matahari seakan membakar tubuh mereka. Malangnya, sampai sejauh ini mereka belum menemukan sampah yang berharga sama sekali.
Mariyem               : Bagaimana ini pak, kta belum mendapatkan apapun (sambil mengusap dahi yang kehujanan keringat).
Gembuk               : Sabar bu, mari kita cari lagi, pumpung masih siang dan langit tak lagi mendung.
Restu                    : (Mencari sampah dengan penuh riangnya).
Mariyem               : Iya pak, melihat Restu aku jadi bersemangat ( sambil menjauh dari suaminya ).
Restu                    : (Memegangi perut sambil menarik –narik baju bapaknya).
Gembuk               : (Menoleh ke arah Restu) Ada apa le cah bagus?
Restu                    : (Ber –ah-uh sambil memegangi perut dan merintih kesakitan).
Mariyem               : (Menghampiri Restu dan bapak dengan penuh rasa keingintahuan) Kenapa pak?
Gembuk               : (Mulai panik ) Restu buk.
Mariyem               : (Panik dan ketakutan sambil memegangi pundak Restu).
Restu                    : (Mulai meronta – ronta).
Gembuk               : Bu, kita harus bawa Restu ke puskesmas.
Mariyem               : Iya pak!
Terlihat mereka tergopoh – gopoh menggendong Restu menuju puskesmas terdekat. Kepanikan mereka semakin menjadi – jadi mendapati restu tak sadarkan diri. Sampai di puskesmas,
Gembuk               : (Panik, berjalan kesana – kemari mencari bantuan) Tolong pak, bu ! tolong anak saya !
Mariyem               : (Mengguncang – ngguncang tubuh Restu sambil menangis) Restu, bangun nak! Bangun, kamu kenapa nak?
Petugas medis       : (lari tergesa – gesa menghampiri suaminya)  Ada yang bisa saya bantu pak?
Gembuk               : Anak saya pak (panik sambil  menunjuk  ke arah Restu yang terkapar di lantai).
Petugas medis       : (Menengok ke arah yang ditunjuk si bapak)  Astagfirullah hal’adzim ! (berlari menghampiri Mariyem dan Restu).
Gembuk               : (Berlari menghampiri mereka berdua bersama petugas medis).
Petugas medis       : Mari pak, kita bawa ke dalam ( membantu Gembuk dan Mariyem mengangkat Restu).
Tak disangka tak diduga, setelah diperiksa ternyata Restu menderita diare yang sudah parah dan harus dirujuk ke rumah sakit. Namun, mereka tak mampu untuk membiayai pengobatan Restu.
Gembuk               : (Mengelus – elus Restu) Hoalah le, maafin bapak sama ibu yang ndak bisa bawa kamu ke Rumah sakit.
Mariyem               : (Menangis dan ikut mengusap – usap dahi Restu) Le, seandainya ibu diberi pilihan sama Gusti Pengiran, mending ibu yang sakit le.
Gembuk               : Bu, kita tidak boleh seperti itu, Ini adalah ujian dari Gusti Alloh. Kita harus sabar menghadapinya.
Sudah satu minggu Restu di rawat di rumah. Keadaannya semakin buruk, tubuhnya pucat terkulai lemas tak berdaya. Hingga suatu hari,
Mariyem               : (Menghampiri Restu) Nak bangun, seharian ini kamu belum makan.
Restu                    : (Diam tak bergerak).
Mariyem               : (Mulai mengguncang – ngguncang tubuh Restu) Nak, bangun           (mengecek saluran pernafasan Restu, kemudian menangis menjerit – jerit memanggil suaminya) Pak, Restu pak, Restu.
Gembuk               : ( Lari menghampiri istrinya dengan wajah khawatir) Ada apa bu?
Mariyem               : ( Panik dan histeris ) Restu pak !
Gembuk               : (Menghampiri Restu yang terkulai lalu mengecek pernafasan Restu ) Innalillahi wainnalillahi roji’un.
Mariyem               : (Menangis meronta – ronta memanggil nama Restu).
Gembuk               : Istigfar bu ! istigfar !
Mariyem               : Tidak, ini tidak mungkin.
Gembuk               : Bu, sadar bu ! anak itu titipan Gusti Alloh, istigfar !
Mariyem               : (Tangisanya mulai mereda) Tapi ini begitu sulit pak.
Gembuk               : Kasihan Restu jika ibu terus saja menangis. Mari labih baik kita makamkan Restu dengan layak !
Dengan penuh kasih sayang  mereka merawat restu untuk yang terakhir kalinya. Mereka berencana untuk memakamkan Restu di kampung halamannya di Bogor, jadi mereka harus naik kereta api.  Saat mereka sampai di stasiun, sekali  lagi nasib baik tak berpihak kepada mereka.
Petugas KA          : Maaf pak, karcisnya (menjulurkan tangan)
Gembuk               : Maaf pak, kami tak punya karcis.
Mariyem               : Tapi kami mohon dengan sangat pak, ijinkan kami naik (menangis). Kami tak punya uang. sungguh.
Petugas KA          : (Mengernyitkan dahi lalu melihat ke arah gendongan si ibu) Lalu apa yang anda bawa itu?
Gembuk               : Ini anak kami (menoleh ke istrinya).
Petugas KA          : Lalu kenapa ditutupi kain seperti itu. Apa bisa dia bisa bernafas dengan keadaan seperti itu? (merasa curiga)
Mariyem               : Dia sudah tidak bernafas lagi pak! (menunduk)
Petugas KA          : (Melotot karena terkejut) Apa maksudnya?
Gembuk               : Anak kami sudah meninggal karena sakit parah pak.
Mariyem               : Dan sekarang kami ingin membawanya ke kampung halaman kami untuk dimakamkan.
Petugas KA          : saya curiga kalian telah melakukan pembunuhan terhadap anak ini.
Mariyem               : Mana mungkin kami setega itu pak?
Petugas KA          : (Menarik tangan kedua orang tua itu) Sudah jangan alasan, sekarang ikut saya ke RSCM.
Gembuk               : Tapi kasihan dia pak, dia harus segera dimakamkan.
Petugas KA          : Sudah, jelaskan saja nanti. Yang penting ikut saya dulu untuk mengotopsi mayat anak itu.
Gembuk               : Tolong  jangan bawa kami pak, kami harus segera memakamkan anak kami dulu.
Sungguh malang nasib mereka, petugas itu terus saja menggiring mereka. Sampai pada akhirnya mereka sampai di RSCM.
Petugas medis       : Bapak dan ibu ini kan yang seminggu lalu saya temui di puskesmas?
Gembuk               : Iya pak, anak kami meninggal.
Petugas KA          : tolong otopsi mayat anak ini pak.
Petugas medis       : Baik pak.
Setelah dilakukan otopsi terhadap mayat bocah mungil itu, ternyata memang benar anak itu meninggal karena sakit parah. Lega sesaat menyelimuti Mariyem dan Gembuk. Tapi mereka mulai bingung lagi ketika berfikir tentang bagaimana mereka akan pulang ke kampung halaman. Mereka tak punya uang sepeserpun untuk membayar ambulan mengantarkan jenazah Restu.
Mariyem               : Bagaimana ini pak, bagaimana cara kita untuk memakamkan Restu di Bogor?
Gembuk               : Begini saja bu, kita jalan kaki saja.
Mariyem               : Baiklah pak (sambil menitihkan air mata).
Setapak demi setapak mereka lalui sambil menitihkan air mata.
Mariyem               : Sungguh malang sekali nasibmu nak, hidup dengan kami yang serba kekurangan, hingga nafas terakhirmu harus penuh penderitaan seperti ini.
Gembuk               : Sudahlah bu, ini mungkin sudah garis kita dan Restu hidup seperti ini (Mengelus – elus wajah si mungil ).
Sampai pada akhirnya mereka sampai di kampung halaman mereka. Inilah kisah sedih mereka. Dan kami juga kan memberi sebuah puisi untuk mereka,
KASIHANILAH ANAKKU
Dialah bintang jatuh berwujud raga                                                                                            Dialah ruh yang terlahir dengan sempurna                                                                       Dialah juga titipan dari yang kuasa
Pancaran matanya sehangat mentari pagi                                                                                   Pancaran pernyataan kuat untuk diri                                                                                             Adakah yang utama selain naluri?
Titipan ini mampu merangkak                                                                                        Titipan ini mampu berdiri tegak                                                                                        Titipan ini lebih dari sekedar nyawa dan kerangka
Tak sebersitpun penilaian atas pembedaan                                                                                 Walau dicercakan atas kekurangan                                                                                                Dia sanggup membiarkan
Apakah yang salah?                                                                                                                  Ingin berteriak ia terlalu kaku                                                                                                       Terengah – engah mengejarmu                                                                                      Terjatuh untuk merangkulmu                                                                                                     Adakah agama dalam hatimu?                                                                                       Tak kau hirau, terlewatkan dengan terlalu
Apa salahnya dengan hilangnya kata?                                                                            Tuhan menjadikannya pribadi tanpa kata                                                                                 Bisunya bukanlah tanda kelemahan raga                                                                                    Diamnya bukanlah karena tak ingin meronta

Mampukah kau dengar itu?                                                                                                       Aku bangga dengan anakku                                                                                                 Anakku mampu menari, mampu berlari                                                                          Dia mampu memahami                                                                                                  Dia sanggup menyayangi                                                                                                           Kasihanilah anakku                                                                                                                        Permata sang Illahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar