SEJARAH
KABUPATEN TULUNGAGUNG
Pada tahun
1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung, mendapatkan
penghargaan dari Raja Daha terakhir, Kertajaya, atas kesetiaan mereka kepada
Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh dari timur Daha. Penghargaan
tersebut tercatat dalam Prasasti Lawadan dengan candra sengkala "Sukra
Suklapaksa Mangga Siramasa" yang menunjuk tanggal 18 November 1205 M.
Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari jadi
Kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Bupati
Tulungagung dan para pengikutnya (1880-1920)
Di Desa Boyolangu, Kecamatan
Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk
mencandikan Gayatri
(Sri Rajapatni), istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya
(Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja
(Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk
(Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama
Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama
yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang =
penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan
Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca
dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:
Prajnyaparamitapuri itulah nama
candi makam yang dibangun
Arca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta Jnyanawidi
Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama
Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
(Pupuh LXIX, Bait 1)
Arca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta Jnyanawidi
Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama
Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
(Pupuh LXIX, Bait 1)
Di Bayalangu akan dibangun pula
candi makam Sri Rajapatni
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja
Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun
(Pupuh LXIX, Bait 2)
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja
Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun
(Pupuh LXIX, Bait 2)
Makam rani: Kamal Padak, Segala,
Simping
Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir
Bangunan baru Prajnyaparamitapuri
Di Bayalangu yang baru saja dibangun
(Pupuh LXXIV, Bait 1)
Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir
Bangunan baru Prajnyaparamitapuri
Di Bayalangu yang baru saja dibangun
(Pupuh LXXIV, Bait 1)
Tulungagung terkenal
sebagai salah satu daerah penghasil marmer terbesar di Indonesia. Terletak 154
Km barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten yang
pernah meraih penghargaan Adipura Kencana ini ternyata sarat akan sejarah
seiring usianya yang terbilang sudah ‘sepuh’.
Wilayah Tulungagung
ternyata sudah dihuni sejak zaman prasejarah dulu. Yang dianggap sebagai
penghuni awal adalah Homo Wajakensis, manusia prasejarah yang fosilnya
ditemukan oleh Eugene Dubois di daerah Tulungagung Selatan. Lokasi penemuannya
konon terletak di dusun Nglepung, Desa Wajak Kecamatan Campurdarat.
Nama Tulungagung
sebenarnya berasal dari dua kata, toeloeng dan agoeng. Arti dari dua kata itu
adalah toeloeng berarti mata air dan agoeng berarti besar. Sebelumnya nama kota
ini adalah Kabupaten Nggrawa. Penyebutan kata Nggrawa sendiri konon dari
banyaknya daerah berawa yang ada atau dalam bahasa Jawanya “Ngrowo”. Tulungagung
awalnya hanya merupakan bagian dari distrik dari Kabupaten Nggrawa. Waktu itu
ibu kotanya masih berada di daerah Kalangbret.
Sejak beberapa tahun
lalu ada koreksi mengenai penentuan hari jadi Kabupaten Tulungagung.
Merunut dari prasasti yang ditemukan di daerah Thani Lawadan yang kini diyakini
bernama Wates, Campurdarat usia kota ini sudah termasuk sangat tua. Dari
prasasti Lawadan menunjukkan kota ini berdiri sejak tahun 12 November tahun
1205.
Prasasti yang
bertanggal 18 November 1205-hari Jumat Pahing-dikeluarkan oleh Prabu Srengga
raja terakhir kerajaan Daha. Raja yang terkenal dengan nama Prabu
Dandanggendis. Isinya kurang lebih berisi pemberian keringanan pajak dan hak
istimewa semacam bumi perdikan atau "sima".
Alasannya pemberian
''hadiah'' tersebut adalah karena jasa prajurit Lawadan atas dedikasi dan
bantuan mereka kepada kerajaan dalam mengusir musuh dari Timur. Berkat bantuan
para prajurit Lawadan sang raja yang tadinya harus meninggalkan keraton dapat
kembali berkuasa.
Pada zaman Mataram
Islam yaitu zaman Sri Pakubuwono I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian
nama Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota Kabupaten Nggrawa. Begitu juga
pada perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah
manca negaranya kerajaan Yogyakarta.
Kalangbret sebagai
Kadipaten Mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti. Wilayah
tersebut selanjutnya dijadikan ibu kota Kabupaten Ngrawa tahun 1750 sampai 1824
Masehi. Yaitu mulai masa Mataram Islam hingga zaman kolonial. Bupati pertama Kabupaten
Nggrawa adalah Kyai Ngabehi Mangundirono.
Nama ''Kalang bret
'' telah dikenal sejak tahun 1255 M (prasasti Mula-Malurung) dan disebut ulang
dalam Negara Kertagama (1635 M) dengan nama Kalangbret. Atas dasar tersebut
legenda yang ada tentang asal Kalabret dari Adipati Kalang yang tewas dalam
kondisi tersembret-sembret oleh Pangeran Lembu peteng dimentahkan.
Sebelum bernama
Kabupaten Ngrawa di wilayah Tulungagung sudah berdiri Katumenggungan Wajak
tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Katumenggungan ini bertahan
hingga pembentukan Kadipaten Ngrawa dengan pusat pemerintahan di Wajak sejak
perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615 hingga 1709 M pada masa
Mataram Islam dan masa kolonial.
Saat masih berbentuk
Katumenggungan yang menjadi tumenggung adalah Senapati Mataram bernama
Surontani. Tokoh yang sangat melegenda tersebut dimakamkan di Desa Wajak Kidul
Boyolangu.
Katumenggungan Wajak
berakhir dengan berdirinya Kabupaten Ngrawa beribu kota di Kalangbret. Nama
"Rawa'' telah dikenal sejak tahun 1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut
ulang dalam Negarakertagama (1365 M). Nama ini kemudian berubah menjadi
''Nggrawa''.
Saat tampuk
kepemimpinan berada di tangan KRT Pringgodiningrat Bupati Ngrawa ke IV, yang
memerintah tahun 1824 hingga 1930, ibu kota Kabupaten Nggrawa dipindahkan
kesebelah Timur sungai Nggrawa yaitu pada lokasi sekarang ini. Selanjutnya kota
baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Ngrgawa.
Terjadi pada masa
kolonial sampai sekarang. Pada tahun 1800-an sampai 1901 nama ''Toeloeng
Agoeng'' dipakai sebagai nama salah satu distrik dalam wilayah Kabupaten
Nggrawa. Nama Kabupaten Nggrawa berubah menjadi Kabupaten Tulungagung pada 1
April 1901 yaitu pada masa pemerintahan bupati Nggrawa ke11, RT Partowijoyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar